Cara pandang orang barat sebagai mana yang terungkap dalam buku Dr.
Morey terhadap perilaku umat Islam, hukumhukum Islam dan peribadatan
dalam Islam adalah reaksi spontan terhadap keadaaan umat Islam di
negara-negara Islam tanpa memperhatikan apa sesungguhnya ajaran Islam
itu sendiri secara menyeluruh melainkan -sepenggal-sepenggal sesuai
dengan kebutuhan mereka dalam me maknai Islam. Sebagaimana telah kita
bahas beberapa penyebabnya -yang juga membuat kita tidak heran dengan
adanya pandangan negatif barat kepada Islam itu – namun juga tidak dapat
disembunyikan bahwa pandangan Barat tersebut seringkali disebabkan oleh
salah paham, atau malah oleh rasa permusuhan. Apalagi dengan adanya
tulisan Samuel Huntington yang mengemukakan tentang kemunglcinan
terjadinya perbenturan budaya (clash of civilizations) dengan Islam
sebagai pola budaya yang paling potensial “membentur budaya modern
Barat, maka rasa permusuhan yang laten kepada Islam itu semakin
memperoleh bahan pembenaran.
Untunglah bahwa di kalangan orang Barat sendiri selalu tampil
orang-orang yang jujur dan sadar. Dalam kejujuran dan kesadaran itu
mereka tampil -sungguh menarik- sebagai pembela-pembela Islam yang
tangguh. Kerapkali mereka juga sangat gemas dengan pandangan penuh nafsu
namun salah dan Zalim dari kalangan orang Barat tentang Islam dan kaum
Muslim. Contohnya ialah Robert Hughes, seorang yang lama bekerja sebagai
kritikus seni majalah Time. Karena pandangan dan komentarnya dengan
baik sekali mewakili dan mencoba bersikap adil dan benar, maka ada
baiknya penulis terkenal ini kita kutip sebuah pernyataannya secara
panjang lebar. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Culture of Complaint-
sebuah bestseller koran New York Times- Hughes mengatakan pandangan
hidup aneka budaya (multicultural) demikian: (Robert Morey, Op. cit., hal 21)
“Maka jika pandangan aneka budaya ialah belajar melihat tembus
batas-batas, saya sangat setuju. Orang Amerika sungguh punya masalah
dalam memahami dunia lain. Mereka tidaklah satu-satunya -kebanyakan
sesuatu memang terasa asing bagi kebanyakan orangtetapi melihat aneka
ragam asal kebangsaan yang diwakili dalam masyarakat mereka (Amerika)
yang luas, sikap tidak pedulinya dan mudahnya merima stereotip masih
dapat membuat orang asing heran, bahkan (berkenaan dengan diri saya)
sesudah tinggal di A.S. duapuluh tahun. Misalnya: Jika orang Amerika
putih masih punya kesulitan memandang orang hitam, bagaimana dengan
orang Arab? Sama dengan setiap orang, saya menonton Perang Teluk di
televisi, membaca beritanya di Koran dan melihat bagaimana perang itu
membuat klimaks buruk kepada kebiasaan yang sudah lama tertanam pada
orang Amerika, berupa ketidak pedulian yang penuh permusuhan kepada
dunia Arab, dahulu dan sekarang. Jarang didapat petunjuk dari media,
apalagi dari kaum politisi, bahwa kenyataan tentang budaya Islam (baik
dahulu maupun kini) bukanlah tidak lain dari sejarah kefanatikan.
Sebaliknya, orang pintar bergantian maju untuk meyakinkan umum bahwa
orang Arab pada dasarnya adalah sekumpulan kaum maniak agama yang
berubah-ubah, pengambil sandra, penghuni semak berduri dan padang pasir
yang sepanjang zaman menghalangi mereka untuk kenal dengan
negeri-negeri yang lebih beradab. Fundamentalisme Islam di zaman modern
memenuhi layar telebisi dengan mulut-mulut yang berteriak dan
tangan-tangan melambaikan senjata; tentang Islam masa lalu -apalagi
sikap ingkar orang Arab sekarang terhadap senofobia dan militerisme
fundamentalissangat sedikit terdengar. Seolah-olah orang Amerika selalu
dicekoki dengan versi pandangan Islam yang dianut Ferdinand dan
Isabella pada abad 15, yang dibesar-besarkan dan disesuaikan dengan
zaman. Inti pesannya ialah bahwa orang Arab adalah tidak hanya tidak
berbudaya, tetapi tidak dapat dibuat berbudaya. Dalam caranya yang
jahat, pandangan itu melambangkan suatu kemenangan bagi para mulla dan
saddam Husein -di mata orang Amerika, apa saja di dunia arab yang tidak
cocok dengan kejahatan dan maniak eskatologis ditutup rapat, sehingga
mereka (orang Amerika) tetap menjadi pemilik penuh bidang (segala
kebaikan) itu.
Tetapi memperlakukan budaya dan sejarah Islam sebagai tidak lebih
daripada mukadimah kefanatikan sekaran gini tidak membawa faedah
apa-apa. Itu sama dengan memandang katedral Gotik dalam kerangka orang
Kristen zaman modern seperti Jimmy Swaggart atau Pat Robertson (dua
penginjil televisi yang amat terkenal namun kemudian jatuh tidak
terhormat karena skandal-skandal -NM). Menurut sejarah, Islam sang
Perusak adalah dongeng. Tanpa para sarjana Arab, matematika kita tidak
akan ada dan hanya sebagian kecil warisan ilmiah Yunani akan sampai ke
kita. Roma abad tengah adalah kampung tumpukan sampah dibanding dengan
Baghdad abad tengah. Tanpa invasi Arab ke Spanyol selatan atau al
Andalus pada abad 8, yang merupakan ekspansi terjauh ke barat dari
imperium Islam yang diperintah dinasti Abasiah dari Baghdad (Sic., yang
benar ialah Spanyol Islam berdiri di bawah dinasti Umawiah, tanpa pernah
menjadi bagian wilayah dinasti Abasiah di Baghdad-NM), kebudayaan Eropa
selatan akan sangat jauh lebih miskin. Andalusia Spanyol-Arab, antara
abad 12-15, adalah peradaban “multicultural” yang brilian, dibangun atas
puing-puing (dan mencakup motif-motif yang hampir punah) dari koloni
Romawi kuna, menyatukan bentuk-bentuk Barat dengan Timur Tengah, megah
dalam ciptaan iramanya dan toleransinya yang pandai menyesuaikan diri.
Atsitektur mana yang dapat mengungguli Alhambra di Granada, atau Masjid
Agung Kordoba? Mestizaje es grandeza: perbauran adalah keagamaan.
Itulah mawas diri dan kritik seorang intelektual Amerika tentang masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang mengidap perasaan benci kepada Islam (khususnya Arab) yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan diatas, sudah diidap orang Barat sejak berabad-abad yang lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat Islam.
Mari kita lihat bagaimana Dr. Robert Morey menunjukkan kebenciaanya pada umat Islam seperti pernyataannya berikut ini:
“Orang Barat mengalami
kesulitan memahami Islam karena mereka tidak mengerti bahwa Islam
merupakan suatu bentuk dari imperalisme budaya di mana agama dan budaya
Arab abad ke – 7 ditingkatkan statusnya menjadi hukum Ilahi”.
Kesimpulan yang impulsive yang mereka buat tentang
segisegi negatif masyarakat Islam karena melihat kejadian-kejadian itu
barangkali memang dapat dipahami. Tetapi orang Barat, termasuk
kebanyakan kaum cendikiawan mereka, apalagi politisi mereka, melupakan
dua sejarah dari dua masyarakat masa lalu yang sangat kontras: mereka
lupa akan sejarah mereka sendiri yang kejam, bengis dan tidak beradab,
sampai dengan saatnya mereka berkenalan dengan peradaban Islam; kemudian
mereka lupa, atau semata-mata tidak tahu, sejarah Islam yang membawa
rahmat bagi semua bangsa, membuka ilmu pengetahuan untuk semua
masyarakat, dan membangun peradaban yang benarbenar kosmopolit.
Sampai-sampai para sarjana Yahudi (yang di masa lalu terkenal sengit
kepada Islam dan Kristen itu), seperti Schweitzer, Halkin, dan Dimont,
memuji masyarakat Islam klasik sebagai paling baik memperlakukan para
penganut agama lain, termasuk kaum Yahudi, yang sampai sekarang pun
belum tertandingi.
sumber:
http://alieyfaizal.wordpress.com/2012/06/13/pandangan-barat-tentang-islam/