Sunday 4 August 2013

Pandangan Barat tentang Islam



Cara pandang orang barat sebagai mana yang terungkap dalam buku Dr. Morey terhadap perilaku umat Islam, hukum­hukum Islam dan peribadatan dalam Islam adalah reaksi spontan terhadap keadaaan umat Islam di negara-negara Islam tanpa memperhatikan apa sesungguhnya ajaran Islam itu sendiri secara menyeluruh melainkan -sepenggal-sepenggal sesuai dengan kebutuhan mereka dalam me maknai Islam. Sebagaimana telah kita bahas beberapa penyebabnya -yang juga membuat kita tidak heran dengan adanya pandangan negatif barat kepada Islam itu – namun juga tidak dapat disembunyikan bahwa pandangan Barat tersebut seringkali disebabkan oleh salah paham, atau malah oleh rasa permusuhan. Apalagi dengan adanya tulisan Samuel Huntington yang mengemukakan tentang kemunglcinan terjadinya perbenturan budaya (clash of civilizations) dengan Islam sebagai pola budaya yang paling potensial “membentur budaya modern Barat, maka rasa permusuhan yang laten kepada Islam itu semakin memperoleh bahan pembenaran.

Untunglah bahwa di kalangan orang Barat sendiri selalu tampil orang-orang yang jujur dan sadar. Dalam kejujuran dan kesadaran itu mereka tampil -sungguh menarik- sebagai pembela-pembela Islam yang tangguh. Kerapkali mereka juga sangat gemas dengan pandangan penuh nafsu namun salah dan Zalim dari kalangan orang Barat tentang Islam dan kaum Muslim. Contohnya ialah Robert Hughes, seorang yang lama bekerja sebagai kritikus seni majalah Time. Karena pandangan dan komentarnya dengan baik sekali mewakili dan mencoba bersikap adil dan benar, maka ada baiknya penulis terkenal ini kita kutip sebuah pernyataannya secara panjang lebar. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Culture of Complaint- sebuah bestseller koran New York Times- Hughes mengatakan pandangan hidup aneka budaya (multicultural) demikian: (Robert Morey, Op. cit., hal 21)

“Maka jika pandangan aneka budaya ialah belajar melihat tembus batas-batas, saya sangat setuju. Orang Amerika sungguh punya masalah dalam memahami dunia lain. Mereka tidaklah satu-satunya -kebanyakan sesuatu memang terasa asing bagi kebanyakan orang­tetapi melihat aneka ragam asal kebangsaan yang diwakili dalam masyarakat mereka (Amerika) yang luas, sikap tidak pedulinya dan mudahnya merima stereotip masih dapat membuat orang asing heran, bahkan (berkenaan dengan diri saya) sesudah tinggal di A.S. duapuluh tahun. Misalnya: Jika orang Amerika putih masih punya kesulitan memandang orang hitam, bagaimana dengan orang Arab? Sama dengan setiap orang, saya menonton Perang Teluk di televisi, membaca beritanya di Koran dan melihat bagaimana perang itu membuat klimaks buruk kepada kebiasaan yang sudah lama tertanam pada orang Amerika, berupa ketidak pedulian yang penuh permusuhan kepada dunia Arab, dahulu dan sekarang. Jarang didapat petunjuk dari media, apalagi dari kaum politisi, bahwa kenyataan tentang budaya Islam (baik dahulu maupun kini) bukanlah tidak lain dari sejarah kefanatikan. Sebaliknya, orang pintar bergantian maju untuk meyakinkan umum bahwa orang Arab pada dasarnya adalah sekumpulan kaum maniak agama yang berubah­-ubah, pengambil sandra, penghuni semak berduri dan padang pasir yang sepanjang zaman menghalangi mereka untuk kenal dengan negeri-negeri yang lebih beradab. Fundamentalisme Islam di zaman modern memenuhi layar telebisi dengan mulut-mulut yang berteriak dan tangan-tangan melambaikan senjata; tentang Islam masa lalu -apalagi sikap ingkar orang Arab sekarang terhadap senofobia dan militerisme fundamentalis­sangat sedikit terdengar. Seolah-olah orang Amerika selalu dicekoki dengan versi pandangan Islam yang dianut Ferdinand dan Isabella pada abad 15, yang dibesar-besarkan dan disesuaikan dengan zaman. Inti pesannya ialah bahwa orang Arab adalah tidak hanya tidak berbudaya, tetapi tidak dapat dibuat berbudaya. Dalam caranya yang jahat, pandangan itu melambangkan suatu kemenangan bagi para mulla dan saddam Husein -di mata orang Amerika, apa saja di dunia arab yang tidak cocok dengan kejahatan dan maniak eskatologis ditutup rapat, sehingga mereka (orang Amerika) tetap menjadi pemilik penuh bidang (segala kebaikan) itu.

Tetapi memperlakukan budaya dan sejarah Islam sebagai tidak lebih daripada mukadimah kefanatikan sekaran gini tidak membawa faedah apa-apa. Itu sama dengan memandang katedral Gotik dalam kerangka orang Kristen zaman modern seperti Jimmy Swaggart atau Pat Robertson (dua penginjil televisi yang amat terkenal namun kemudian jatuh tidak terhormat karena skandal-skandal -NM). Menurut sejarah, Islam sang Perusak adalah dongeng. Tanpa para sarjana Arab, matematika kita tidak akan ada dan hanya sebagian kecil warisan ilmiah Yunani akan sampai ke kita. Roma abad tengah adalah kampung tumpukan sampah dibanding dengan Baghdad abad tengah. Tanpa invasi Arab ke Spanyol selatan atau al Andalus pada abad 8, yang merupakan ekspansi terjauh ke barat dari imperium Islam yang diperintah dinasti Abasiah dari Baghdad (Sic., yang benar ialah Spanyol Islam berdiri di bawah dinasti Umawiah, tanpa pernah menjadi bagian wilayah dinasti Abasiah di Baghdad-NM), kebudayaan Eropa selatan akan sangat jauh lebih miskin. Andalusia Spanyol-Arab, antara abad 12-15, adalah peradaban “multicultural” yang brilian, dibangun atas puing-puing (dan mencakup motif-motif yang hampir punah) dari koloni Romawi kuna, menyatukan bentuk-bentuk Barat dengan Timur Tengah, megah dalam ciptaan iramanya dan toleransinya yang pandai menyesuaikan diri. Atsitektur mana yang dapat mengungguli Alhambra di Granada, atau Masjid Agung Kordoba? Mestizaje es grandeza: perbauran adalah keagamaan.

Itulah mawas diri dan kritik seorang intelektual Amerika tentang masyarakatnya sendiri, suatu masyarakat yang mengidap perasaan benci kepada Islam (khususnya Arab) yang tak pernah terpuaskan. Pandangan umum yang tidak senang dengan Islam itu, seperti dikatakan dalam kutipan diatas, sudah diidap orang Barat sejak berabad-abad yang lalu, kemudian seolah-olah diperkuat oleh kejadian-kejadian mutakhir yang menyangkut Islam dan umat Islam.
Mari kita lihat bagaimana Dr. Robert Morey menunjukkan kebenciaanya pada umat Islam seperti pernyataannya berikut ini:

“Orang Barat mengalami kesulitan memahami Islam karena mereka tidak mengerti bahwa Islam merupakan suatu bentuk dari imperalisme budaya di mana agama dan budaya Arab abad ke – 7 ditingkatkan statusnya menjadi hukum Ilahi”.

Kesimpulan yang impulsive yang mereka buat tentang segi­segi negatif masyarakat Islam karena melihat kejadian-kejadian itu barangkali memang dapat dipahami. Tetapi orang Barat, termasuk kebanyakan kaum cendikiawan mereka, apalagi politisi mereka, melupakan dua sejarah dari dua masyarakat masa lalu yang sangat kontras: mereka lupa akan sejarah mereka sendiri yang kejam, bengis dan tidak beradab, sampai dengan saatnya mereka berkenalan dengan peradaban Islam; kemudian mereka lupa, atau semata-mata tidak tahu, sejarah Islam yang membawa rahmat bagi semua bangsa, membuka ilmu pengetahuan untuk semua masyarakat, dan membangun peradaban yang benar­benar kosmopolit. Sampai-sampai para sarjana Yahudi (yang di masa lalu terkenal sengit kepada Islam dan Kristen itu), seperti Schweitzer, Halkin, dan Dimont, memuji masyarakat Islam klasik sebagai paling baik memperlakukan para penganut agama lain, termasuk kaum Yahudi, yang sampai sekarang pun belum tertandingi.

sumber:  
http://alieyfaizal.wordpress.com/2012/06/13/pandangan-barat-tentang-islam/