REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON–Sebaik-baiknya manusia berencana, Allah
Yang Maha Besar yang menentukan. Demikian benang merah kisah perkenalan
Shariffa Carlo dengan Islam. “Aku tahu seluk beluk tentang Islam. Tapi
saat itu, aku memiliki agenda untuk menghancurkan Islam,” kenang
Sharifa.
Keterlibatan Shariffa dalam kelompok anti Islam boleh dibilang tidak
sengaja. Saat itu, anggota kelompok itu melihat bakat dan kemampuannya
seperti keahlian berdiplomasi dan menguasai isu-isu Islam dan Timur
Tengah. “Orang itu lalu berkata padaku jika bergabung maka ada jaminan
aku akan bekerja di kedutaan besar AS di Mesir. Dia ingin aku pergi
kesana untuk berbicara dengan muslimah dan mendorong gerakan terkait
hak-hak perempan,” kata dia.
Saat itu, Shariffa melihat tawaran itu sungguh menarik. Belum lagi, hal
yang diperjuangkan adalah perempuan. Sharifa paham betul, muslimah
adalah individu tertindas. Tentu, niatan dirinya untuk membantu
perjuangan para muslimah menjadi besar. “Aku ingin membawa mereka pada
kebebasan,” ucapnya.
Sebagai bekal pendekatan terhadap muslimah, Shariffa mulai mendalami
Alquran dan sejarah Islam. Ia juga belajar bagaimana memutarbalikan
fakta dalam Alquran untuk tujuan tertentu. Shariffa pun menyadari apa
yang dilakukannya itu kian mendekatkan dirinya dengan Islam. “Aku mulai
tertarik, tapi aku coba untuk menahan ketertarikan itu dengan
mempelajari ajaran Kristen secara mendalam,” kata Shariffa.
Niatan itu dilakukannya. Ia minta seorang teolog lulusan Harvard
untuk menjadi pembimbingnya. Namun, pembimbingnya itu justru sosok yang
meragukan sejumlah kepercayaan dalam kristen seperti masalah Trinitas
dan kenabian Yesus.
“Diawal aku merasa ditangan yang benar, tapi ternyata profesor ini
seorang yang percaya bahwa Yesus adalah seorang Nabi,” kenang dia.
Shariffa pun kembali mencari penolakan atas kebenaran ini dengan
mengkaji kembali isi alkitab berbahasa Yunani dan Ibrani. Ternyata, ia
menemukan hal yang mengejutkan. Apa yang ia baca serupa dengan apa yang
dipelajarinya.Kepercayaannya terhadap Kristen runtuh seketika. “Aku saat
itu tidak bisa menerimannya, aku tetap memaksakan bahwa Kristen yang
benar. Aku tidak siap menerima kebenaran Islam,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, pergulatan dalam diri Shariffa berakhir.
Ia mulai untuk menerima secara perlahan kebenaran tentang Islam. Sebuah
agama yang dahulu ia pergunakan untuk menyebarkan pesan kebencian. Ia
pun mulai banyak berdiskusi dengan muslim.
Suatu hari, Shariffa bertemu dengan sekelompok muslim yang tengah
berkunjung. Entah mengapa, Shariffa begitu berkeinginan kuat untuk
bertemu dengan mereka. Ia pun terlibat diskusi tentang Islam dan
Kristen. “Aku tidak lagi bisa membohongi kebenaran nyara. Aku tahu itu
kebenaran sejati. Aku lalu mengambil keputusan, Alhamdulillah, aku ingin
menjadi seorang muslim,” kenangnya haru.
“Saat aku bersyahadat dihadapan Allah SWT, seketika aku merasakan
betapa beban dalam diriku hilang seketika. Aku begitu bahagia, dan
merasa bersyukur dapat menjalani sisa hidup untuk menjadi muslim,”
pungkasnya