Dulu, saat duduk di
bangku SD, tentu Anda kerap mendengar cerita tentang kemampuan nenek moyang
kita merekatkan batu-batu raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur.
Alhasil, berdirilah bangunan fenomenal, seperti Candi Borobudur atau Prambanan.
Benar atau tidak,
cerita tadi menunjukkan dikenalnya fungsi semen sejak zaman baheula.
Sebelum mencapai bentuk seperti sekarang, perekat dan penguat bangunan ini
awalnya merupakan hasil percampuran batu kapur dan abu vulkanis. Pertama kali
ditemukan di zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli, dekat teluk Napoli,
Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana.
Sedangkan kata semen
sendiri berasal dari caementum (bhs. Latin), yang
artinya kira-kira “memotong menjadi bagian-bagian kecil tak beraturan”. Meski
sempat populer di zamannya, nenek moyang semen made in Napoli
ini tak berumur panjang. Menyusul runtuhnya Kerajaan Romawi, sekitar abad
pertengahan (tahun 1100 -1500 M) resep ramuan pozzuolanasempat
menghilang dari peredaran.
Baru pada abad ke-18
(ada juga sumber yang menyebut sekitar tahun 700-an M), John Smeaton (insinyur
asal Inggris) mene-mukan kembali ramuan kuno berkhasiat luar biasa ini. Dia
mem-buat adonan dengan memanfaatkan campuran batu kapur dan tanah liat saat
membangun menara suar Eddystone di lepas pantai Cornwall, Inggris.
Ironisnya, bukan
Smeaton yang akhirnya mematenkan proses pembuatan cikal bakal semen ini. Adalah
Joseph Aspdin, juga insinyur berkebangsaan Inggris, pada 1824 mengurus hak
paten ramuan yang kemudian dia sebut semen portland. Dinamai
begitu karena warna hasil akhir olahanya mirip tanah liat Pulau Portland,
Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang sekarang banyak dipajang di
toko-toko bangunan.
Sebenarnya, adonan
Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan dua bahan utama,
batu kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak
mengandung silika (sajenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida
(alumunium) serta oksida besi. Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan
dipanaskan pada suhu tinggi sampai terbentuk campuran anyar.
Selama proses
pemanasan, terbentuklah campuran padat yang mengandung zat besi. Nah, agar tak
mengeras seperti batu, ramuan diberi bubuk gips dan dihaluskan hingga berbentuk
partikel-partikel kecil mirip bedak.
Lazimnya, untuk mencapai
kekuatan tertentu, semen portlandberkolaborasi dengan bahan lain.
Jika bertemu air (minus
bahan-bahan lain),
misalnya, memunculkan reaksi kimia yang sanggup mengubah ramuan jadi sekeras
batu. Jika di tambah pasir, terciptalah perekat tembok nan kokoh. Namun untuk
membuat pondasi bangunan, campuran tadi biasanya masih ditambah dengan
bongkahan batu atau kerikil, biasa disebutconcrete alias
beton.
Beton bisa disebut
sebagai karya semen yang tiada duanya di dunia. Nama asingnya, concrete dicomot
dari gabungan prefiks bahasa Latin com, yang artinya bersama-sama,
dancrescere (tumbuh). Maksudnya kira-kira, kekuatan yang tumbuh
karena adanya campuran zat tertentu. Dewasa ini, nyaris tak ada gedung pencakar
langit berdiri tanpa bantuan beton.
Meski bahan bakunya
sama, “dosis” semen sebenarnya bisa disesuaikan dengan beragam kebutuhan.
Misalnya, jika kadar aluminanya diperbanyak, kolaborasi dengan bahan bangunan
lainnya bisa menghasilkan bahan tahan api. Ini karena sifat alumina yang tahan
terhadap suhu tinggi. Ada juga semen yang cocok buat mengecor karena
campurannya bisa mengisi pori-pori bagian yang hendak diperkuat.
Manusia modern memang
tak bisa berkelit dari semen. Barangkali itu sebabnya, meski harga jualnya di
pedalaman Pa-pua bisa Rp 300.000,- sampai dengan Rp 700.000,- per zak (di Pulau
Jawa cuma puluhan ribu saja), semen tetap saja dicari.
(Sumber : Intisari
Agustus 2001 No. 451 Tahun XXXVII)